Kasus kredit Sritex bisa jadi “drama horor” buat para bankir, termasuk bankir BPD. Prinsip kehati-hatian, termasuk mitigasi risiko, harus tetap dijadikan pedoman dalam menyalurkan kredit. Dengan adanya kasus tersebut, para bankir, khususnya BPD, akan memilih bermain aman?
RONTOKNYA perusahaan tekstil raksasa Tanah Air, Sri Rejeki Isman (Sritex), menyeret sejumlah pejabat tiga bank pembangunan daerah (BPD). Mereka yang bahkan beberapa di antaranya sudah purnatugas kini ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit kepada Sritex. Sebanyak tujuh bankir BPD ditersangkakan karena menyetujui penyaluran kredit ke Sritex, yang beberapa tahun kemudian menjadi kredit macet. Dari tiga BPD (Bank BJB, Bank Jakarta-dulu Bank DKI, dan Bank Jateng), total kerugian negara disebut mencapai Rp1,08 triliun.
Kasus ini bisa jadi bikin resah bankir-bankir BPD. Mereka bisa saja makin ragu atau bahkan takut menyalurkan kredit korporasi. Siapa menyangka keputusannya menyetujui kredit, beberapa tahun kemudian lantas membawanya ke hotel prodeo, gara-gara kreditnya menjadi macet. Padahal, saat pengajuan kredit, kinerja perusahaan debitur baik-baik saja, sehingga dinilai layak diberi kredit. Sepanjang tidak ada kongkalikong, cashback atau pemberian dalam bentuk apa pun, persetujuan kredit tentu murni business judgement.