Penulis adalah Ketua Dewan Pers.
SEJAK Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada 1440 di Jerman, penyebaran informasi berlangsung sangat cepat dan meluas, melampaui masa ketika buku dan surat ditulis dengan tangan dalam jumlah yang terbatas. Lebih dari itu, transmisi dan sirkulasi ilmu serta berita yang semula disampaikan secara lisan, dengan munculnya mesin cetak penyebarannya makin cepat, pesannya pun lebih akurat. Kemungkinan terjadinya deviasi dan distorsi lebih terjaga ketimbang tradisi lisan.
Kehadiran televisi yang dibantu teknologi satelit membuat penyebaran dan sirkulasi berita makin berkembang cepat lagi, disertai bahasa visual yang bergerak (moving picture) sehingga lebih memikat pemirsa. Budaya tulis dan baca pun tergeser oleh budaya dengar dan menonton. Masyarakat mengonsumsi berita tak sebatas lewat buku atau surat kabar, tapi juga melalui bahasa gambar yang lebih bervariasi. Mulai dari adegan yang lucu, konser musik, sport, hingga adegan keras dan sadis bisa disaksikan melalui layar televisi.
Kini, kehadiran teknologi digital dan artificial intelligence (AI) telah memperkaya aplikasi media sosial (medsos) dengan berbagai implikasinya Masyarakat dibuat kabur. Sulit membedakan antara berita dan tontonan hoaks dengan yang asli. Sajian yang mengedepankan rasionalitas dan emosional berbaur. Sementara, banyak masyarakat yang lebih menyenangi isu yang mengundang emosi ketimbang yang mengajak berpikir. Berpikir itu memerlukan energi dan konsentrasi. Sementara, emosi lebih merupakan letupan emosi spontan.